Selamat Datang di blogspot Filkumania Bentham.

Blogspot ini merupakan jurnal perkuliahan mata kuliah Filsafat Hukum, yang dibimbing oleh Bapak Shidarta,S.H,.M.H.



Dibuatnya blogspot ini dengan tujuan untuk saling berbagi dan berdiskusi tentang Filsafat Hukum. Dan sekaligus juga bisa sebagai panduan teman-teman yang akan mengambil mata kuliah Filsafat Hukum.



Kamis, 04 November 2010

Jurnal Perkuliahan XI


ALIRAN KODRAT

Tanggal 24 & 29 September 2010 

Perbedaan antara Natural Law dan Law of Nature
Natural Law adalah hukum kodrat, sementara the Law of Nature adalah hukum alam semesta, seperti hukum Archimedes.

Latar Belakang Aliran Kodrat
-  Dirintis pada masa Yunani Kuno
-  Dipertanyakan oleh Cicero
-  Dianalisis oleh Thomas Aquinas (aliran Tomisme). Aliran ini sebelumnya sebagai aliran yang resmi (yang menyatakan bahwa moralitas itu adalah hukum agama), sehingga Konsili Vatikan Kedua menyatakan bahwa di luar gereja tidak ada keselamatan à ultra Ecclesiam nulla salus
-  Dianggap berguna sebagai sumber memahami prinsip-prinsip hukum internasional dan penafsiran konstitusi (terutama oleh hakim-hakim di Amerika)

Karakteristik Aliran Kodrat
1).  Aliran Kodrat mengidentikkan hukum dan moralitas (aliran kodrat selalu berisi satu atau lebih nilai-nilai moral atau hukum, atau pertimbangan moral—dan nilai-nilai ini diterapkan dari aspek yang umum ke yang konkrit (yang berlaku pada peristiwa-peristiwa tertentu);

2).  Aliran ini menggunakan 2 sumber (untuk pertimbangan moral)—(i) Wahyu Tuhan dan (ii) rasio. Sebagai konsekuensinya, aliran kodrat ini memiliki cabang yang irasional (yang berpegang pada Wahyu Tuhan) dan yang rasional. Namun demikian, penganut aliran kodrat ini—baik yang bersumber dari Wahyu Tuhan atau dari rasio—sependapat mengenai keberlakuan aliran kodrat yang universal dan abadi (yaitu aliran kodrat sebagai suatu ranah hukum yang melebihi ruang dan waktu);

3). Aliran kodrat ini terjangkau oleh rasio manusia (apabila rasio itu diterapkan dengan benar)—dan dengan demikian, merupakan objek penelaahan rasio. Dengan kata lain, hukum kodrat harus bisa ditelaah oleh rasio manusia walau terkadang dengan menggunakan justifikasi-justifikasi;

4). Jika terdapat pertentangan antara hukum kodrat dan hukum positif, maka hukum positif yang dikesampingkan [menurut hukum kodrat, hukum kodrat ini berada di atas hukum positif]. 

Asumsi-Asumsi yang harus dibuat agar metode pemikiran Aquinas (yaitu hukum kodrat tradisional) ini valid:
1).  Tuhan itu ada—hukum kodrat beroperasi berdasarkan asumsi Tuhan itu ada karena hukum kodrat itu dianggap bersumber dari Wahyu Tuhan. Dengan demikian, aliran kodrat cenderung sulit diterima oleh pemikir ateis/sekuler;
2).  Penguasa politik memang selalu mengabdi demi kepentingan terbaik rakyatnya (yaitu memerintah dengan berdasarkan pada hukum kodrat sebagai referensinya. Hukum dianggap tidak sah apabila diimplementasikan dengan tidak memperhatikan kepentingan rakyatnya); pada kenyataannya, apabila hukum kodrat ini diimplementasikan oleh pemerintah yang lalim dengan tidak memperhatikan kepentingan rakyatnya, hukum tersebut juga tetap sah, dan menimbulkan pemerintahan yang otoriter;
3).  Hanya ada satu tolak-ukur baik dan buruk (dengan demikian hukum kodrat bersifat universal)—asumsi ini lemah karena pada kenyataannya tidak semua komunitas memiliki persepsi yang sama mengenai hal yang baik dan yang buruk.

Kesimpulan—Moralitas, dalam versi ini, berasal dari hukum kodrat yang apabila lebih jauh lagi ditelusuri, berasal dari Tuhan.

2). Inner Morality Version (Versi Moralitas Terdalam)
Versi Inner Morality diajukan oleh Lon Fuller (1902-1978). Menurut versi ini, apabila hukum positif bertentangan dengan moralitas, maka hukum positif tersebut tetap sah sepanjang tidak melanggar “inner morality” dari hukum yang bersangkutan.

Moralitas hukum di sini dibedakan dari moralitas umum à moralitas dari hukum itu memiliki moralitas yang terdalam (non-derogable morality) yaitu inti dari hukum tersebut—misalnya, hak untuk hidup. Apabila ada hukum positif yang melanggar inner morality ini, maka hukum tersebut tidak sah.

Illat adalah sifat hakiki sebagai sumber keberlakuan hidup.
Inner morality ini adalah prima facie bagi ditaatinya suatu hukum. Tanpa adanya inner morality, hukum kehilangan otoritasnya untuk ditaati.

Principles of Legality (Asas-Asas Legalitas—merupakan teori Fuller yang sangat terkenal)
1).  Suatu aturan itu harus dapat diterapkan ke semua orang (tidak boleh merupakan keputusan-keputusann ad hoc belaka, namun harus berupa aturan umum);
2).  Aturan itu harus dipublikasikan kepada masyarakat luas;
3).  Aturan tidak boleh berlaku surut (must not be retroactive, but instead must be prospective in effect)—tidak boleh diberlakukan terhadap kejadian-kejadian yang terjadi sebelum hukum tersebut dibuat;
4).  Aturan harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti (yaitu harus dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh semua orang karena aturan itu bukan untuk kaum elitis saja; selain itu aturan juga tidak boleh ambigu dalam rumusannya);
5).  Aturan-aturan itu harus konsisten dan tidak boleh saling bertentangan;
6).  Aturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang secara wajar dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang terpengaruhi oleh aturan tersebut;
7).  Aturan tidak boleh sering diubah-ubah;
8). Harus ada kecocokan antara aturan yang diundangkan dengan pelaksanaan aturan tersebut—pelaksanaan suatu aturan tidak boleh jauh berbeda dengan kata-kata dalam aturan tersebut.

Prinsip-prinsip moral yang dimaksudkan oleh Fuller ini terkait dengan hukum sebagai sistem hukum dan bukan hukum individual. Pelanggaran sistem hukum terhadap salah satu saja dari 8 prinsip ini, membuat sistem hukum itu tidak layak disebut sebagai sistem hukum. Dengan kata lain, kedelapan prinsip di atas harus dipatuhi seluruhnya agar suatu sistem itu layak disebut sebagai sistem hukum.

Teori Fuller tidak secara spesifik terfokus pada validitas suatu aturan menurut ukuran moralitas pribadi individual, tetapi lebih kepada sistem hukum keseluruhan.

Asumsi dalam Teori Fuller:
1).  Manusia memiliki kebebasan untuk memilih baik-buruk (atas dasar inti moralitas hukum). Walupun telah ada inner moralitas, baik-buruk masih dapat tetap dipilih oleh masing-masing individual. Dengan demikian, tidak ada jaminan bahwa moralitas hukum tersebut sesuai dengan moralitas secara umum karena Teori Fuller tidak membahas moralitas secara umum;
2). Sama dengan kritik terhadap Teori Aquinas, inti moralitas hukum ini dapat ditetapkan/ dikontrol oleh penguasa; dengan demikian hukum yang tidak dilandasi dengan inner morality yang sesuai dengan moralitas umum tetap akan dianggap sah;
3). Inti moralitas hukum itu dijabarkan penguasa secara jelas, aplikatif dan konsisten ke dalam aturan perundang-undangan sebagai bagian dari genuine legal system-nya. Oleh karena itu, UU harus selalu berlaku ke depan (prospectively) dan bukan berlaku surut (retroactively);
4). Manusia berkewajiban mentaati UU demikian (prima facie obligation)

Kesimpulan—Moralitas menurut versi ini berasal dari sistem hukum; ia ada sebagai bagian internal sistem hukum tersebut (khususnya prinsip legalitas) (sangat sistemik).


3). Interpretive Version
Versi penafsiran atau interpretive version ini diajukan oleh Ronald Dworkin. Menurut Dworkin, apabila hukum positif bertentangan dengan moralitas, hukum tersebut sah sepanjang dapat dijustifikasikan secara moral (yaitu sepanjang penafsiran/interpretasi moral dapat ditarik dari peraturan itu).

Dworking menyatakan bahwa:
1). Hukum tak sekedar kumpulan norma, tetapi suatu ekspresi falsafah pemerintahan (asas-asas moral terbaik). Falsafah ini terutama memuat hubungan penguasa-rakyat yang dinyatakan secara eksplisit dalam konstitusi (yaitu jaminan hak-hak konstitusional rakyat);
2). Penafsiran hukum selalu dilakukan menurut pertimbangan moral.

Untuk mengetahui keberadaan asas moral terbaik itu, lihat kecocokannya dengan aturan lain dalam sistem hukum itu (the idea of fit)—logical consistency—and the power to justify/help provide a nationale for the rule.

Logical consistency dalam hukum terkait dengan 4 asas:
1). Eksklusi—sistem itu lengkap, dapat berdiri sendiri dan tidak perlu mencari solusi dari sistem yang lain (systemic)—dengan demikian tidak akan dikatakan inkonsisten dengan sistem hukum yang lain, karena tidak akan dilakukan perbandingan;
2). Subsumsi (hierarkis)—dalam suatu sistem ada sub-sistem—yaitu ada gradasi antara suatu sistem dengan sub-sistem-nya, dan antara sub-sistem yang ini dengan sub-sistem yang lebih rendah;
3). Derogasi (not-conflicting)—jika sampai konflik, maka yang satu mengesampingkan yang lain (sehingga yang diterapkan hanya satu);
4). Non-Kontradiksi (sifat norma adalah konsisten).

- Jika konsisten maka dapat diambil penafsiran atau dapat diinterpretasikan.
- Perhatikan bahwa yang menginterpretasikan di sini merupakan fungsionaris hukum itu sendiri; dengan demikian, interpretasi itu subjektif (dan sudah tidak universal lagi)—cenderung keluar dari hukum kodrat.
- Hukum itu harus ada akhirnya (harus ada keputusannya atau ada titik penyelesaiannya)—Lites Finiri Oportet.

Kesimpulan—Moralitas dalam versi ini berasal dari hasil interpretasi para pengemban hukum; moralitas itu ada di benak mereka terkait dengan makna hukum positif bagi mereka (sangat subyektif). Dengan kata lain, hukum adalah hasil konstruksi berpikir para praktisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar