Selamat Datang di blogspot Filkumania Bentham.

Blogspot ini merupakan jurnal perkuliahan mata kuliah Filsafat Hukum, yang dibimbing oleh Bapak Shidarta,S.H,.M.H.



Dibuatnya blogspot ini dengan tujuan untuk saling berbagi dan berdiskusi tentang Filsafat Hukum. Dan sekaligus juga bisa sebagai panduan teman-teman yang akan mengambil mata kuliah Filsafat Hukum.



Kamis, 04 November 2010

Jurnal Perkuliahan VIII


ALIRAN-ALIRAN DALAM AKSIOLOGI (ETIKA)

Etika dapat dibedakan menjadi etika peraturan (deontologist) dan etika pragmatis/tindakan (teleologis), yang diasosiasikan dengan utilitarianisme.

Etika Peraturan (Deontologi)
Deontologi berasal dari kata Yunani “Deon” yang artinya kewajiban. Etika deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Ukuran baiknya suatu tindakan itu bukan dinilai dan dibernarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik dari tindakan itu, melainkan berdasarkan kebaikan dari tindakan itu sendiri. Dengan kata lain, suatu tindakan itu bernilai moral karenan tindakan itu dilaksanakan berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan itu (Nilai moral itu ada selama manusia bertindak atas dasar rasa kewajiban). Etika deontologis diasosiasikan dengan kewajiban moral dan keharusan.

Dalam etika peraturan, kewajiban bersifat imperatif, tetapi apakah aspek imperatif tersebut berdasarkan kebaikan/kebenaran dari tindakan itu sendiri atau berdasarkan akibatnya yang baik—Imperatif Kategoris dan Imperatif Hipotesis sebagai dua perintah moral yang berbeda

Imperatif Kategoris merupakan perintah tak bersyarat yang mewajibkan begitu saja suatu tindakan moral. Dengan kata lain, ia merupakan perintah untuk menjalankan suatu perbuatan atas dasar tuntutan kewajiban itu sendiri, sedangkan imperatif hipotesis selalu mengikut-sertakan struktur “Jika.. maka..” Dengan demikian imperatif hipotesis merupakan perintah untuk menjalankan suatu perbuatan atas dasar kewajiban yang dikaitkan dengan pamrih.

Menurut Kant, ukuran baik-buruk itu adalah perilaku terlepas dari akibatnya yang mungkin baik. Kant menganggap imperatif hipotesis lemah secara moral karena yang baik direduksi pada akibatnya saja; dengan demikian, manusia bertindak semata-mata berdasarkan akibat dari perbuatan itu. Otonomi manusia hanya dimungkinkan apabila manusia bertindak sesuai dengan imperatif kategoris yang mewajibkan suatu tindakan itu tanpa syarat apapun. Imperatif kategoris menjiwai semua perbuatan moral seperti janji harus ditepati, barang pinjaman harus dikembalikan, dsb.

Nilai moral hanya ada selama manusia bertindak atas dasar kewajiban = Imperatif Kategoris.
Moralitas memerlukan keadilan yang hanya dapat ditetapkan oleh Tuhan.

Beberapa kutipan etika deontologis:
(i)  Kant (Formalisme)—“Benar adalah kehendak rasional dari tugas seseorang untuk sebuah kewajiban”
(ii)  Epictetus (Stoisisme)—“Benar adalah kepasrahan terhadap kewajiban dan tidak perduli terhadap akibatnya”
(iii) St. Paul (Etika Kristen)—“Benar adalah ketaatan kepada kehendak Tuhan”
(iv) Royce (Idealisme)—“Benar adalah loyalitas untuk kepentingan loyalitas itu sendiri”
(v)  Butler (Intusionisme)—“Setiap orang dapat menemukan hukum benar dalam dirinya dan rasa kewajiban untuk melakukannya”.

Deontologis Tindakan dan Deontologis Aturan
Deontologis itu sendiri dapat dibedakan lagi menjadi Deontologis Tindakan dan Deontologis Aturan. Deontologis tindakan adalah apabila seseorang melakukan sesuatu karena merasa bahwa dalam situasi atau keadaan tersebut, hal itu telah menjadi kewajibannya Sementara itu, deontologis aturan meletakkan ukuran/standar tindakan benar atau salah dari aturan. Dengan demikian deontologist aturan adalah apabila seseorang melakukan sesuatu karena hal itu sesuai dengan standar dalam aturan. Karena itu deontologi aturan lebih mudah untuk berubah daripada deontologi tindakan (karena aturan itu lebih mudah untuk berubah daripada nilai-nilai moral yang merupakan dasar pengambilan tindakan dalam deontologi tindakan).

Deontologis Teleologi
Teleologis, dalam bahasa Yunani artinya tujuan. Berbeda dengan etika deontologi, etika teleology mengukur baik-buruknya suatu tindakan berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Aliran utilitarianisme sering diasosiasikan dengan deontologi teleologis karena aliran ini melihat baik-buruknya suatu perbuatan dari akibat dari tindakan itu; apabila perbuatan itu membawa manfaat atau kebahagiaan bagi orang banyak.

Etika teleologis menggunakan imperatif hipotesis (Bentham)—perintah untuk menjalankan suatu perbuatan atas dasar kewajiban yang dikaitkan dengan pamrih/ akibat dari perbuatan itu.

Etika teleologi lebih bersifat situasional karena tujuan dan akibat suatu tindakan bisa sangat tergantung pada situasi khusus atau tertentu. 

Etika Situasi
Karena setiap situasi itu unik, maka betul-salahnya suatu tindakan itu hanya dapat diputuskan oleh yang bersangkutan. Dengan kata lain, etika situasi tidak memberikan ukuran yang pasti terhadap baik-buruknya suatu tindakan; semuanya bergantung pada situasi. Tidak ada otoritas masyarakat yang dapat mewajibkan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan secara mutlak. Etika situasi menuju ke etika fenomenologis—melihat sesuatu secara komprehensif, dan tidak hanya dari satu sudut pandang saja, atau dari satu ideologi tertentu—dan berfungsi sebagai meta-etika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar