POSITIVISME
Pada jaman modern, empirisme dan rasionalisme bersinergi sehingga lahirlah Positivisme.
Auguste Compte menyebutkan 3 tahap peradaban:
(i). Tahap Teologis (Fiktif)—t erdapatnya kepercayaan pada supernatural
(ii). Tahap Metafisis (Abstrak)—antara percaya dan tidak
(iii) Tahap Positivis (Riil)—yang tidak ilmiah dianggap tidak riil.
5 Asumsi dasar Positivisme:
1). Logiko Empirisme—yang benar adalah yang dapat dibuktikan secara empiris. Teori yang dipakai adalah teori korespondensi—suatu pernyataan dianggap benar sepanjang pernyataan tersebut sesuai dengan kenyataan;
2). Realitas Objektif—Hanya ada satu saja realitas yang objektif itu; tidak ada ruang bagi interpretasi subjektif. Subjek-objek terpisah—benda/objek itu lah yang merupakan realitas atau kenyataan, bukan subjeknya (subjek tidak boleh menyatu dengan objeknya, namun harus memisahkan diri atau menjaga jarak dari objek itu agar tidak diberikan penilaian secara subjektif—namun dapat melihat segala sesuatu apa adanya.
Perlu diperhatikan bahwa tidak semua objek bisa dikaji secara empiris (atau secara realitas-objektif)—yang bisa adalah yang reduktif.
3). Reduksionisme—dapat dipilah-pilah menjadi satuan yang kecil-kecil untuk diamati.
Positivisme diharapkan dapat menyatukan ilmu-ilmu yang objeknya beragam (seperti psikologi, hukum) yang masing-masing menawarkan metode yang beragam sehingga kebenaran itu beragam pula. Dengan kata lain, positivisme bertujuan untuk mencapai “unified science”. Pendekatannya adalah dengan menggunakan hukum-hukum fisika.
4). Determinisme—menunjukkan adanya keteraturan dalam hukum-hukum fisika tersebut sehingga dunia dapat dikendalikan. [Newton meyakini bahwa alam semesta bekerja dalam satu keteraturan seperti sebuah mesin waktu (Clockwork Universe)]. Contohnya: bau yang datang dari bakteri yang menyebabkan pembusukkan (kausalitas). Dari itu, kita dapat mencegah bau tersebut, misalnya dengan menggunakan antiseptik.
5). Asumsi Bebas Nilai—terkait dengan realitas objektif; sebagai konsekuensi dari realitas objektif maka asumsi bebas nilai harus digunakan. Dengan kata lain, kita tidak boleh memberikan interpretasi-interpretasi atau penilaian baik-buruk terhadap ilmu pengetahuan. Misalnya teknologi cloning—bila melihat teknologi tersebut, kita tidak boleh memikirkan baik-buruknya, namun melihatnya dari segi ilmu pengetahuan baru yang akan kita dapatkan. Dengan kaca mata positivisme diharapkan ilmu pengetahuan itu semakin berkembang.
Sejarah Positivisme—Positivisme pertama kali muncul di Wina, Austria, melalui pemikiran-pemikiran sekelompok ahli dari berbagai bidang yang menyebut dirinya Wiener Kries (Lingkaran Wina—1922).
4). INTUISIONISME
(i). Rasionalisme
Aliran rasionalisme menyatakan bahwa subjek yang berpikir itu yang menentukan. Yang diutamakan oleh aliran ini adalah rasio. Cara berpikir rasionalisme adalah cara berpikir yang bersifat apriori (sesuatu itu bisa disimpulkan sebelum peristiwanya terjadi). Metode pemikirannya adalah dengan menggunakan metode/ logika deduksi (dari umum ke khusus à yaitu menggunakan fakta-fakta/pernyataan yang bersifat umum untuk meneliti dan memecahkan hal yang khusus.
(ii) Empirisme
Aliran empirisme menyatakan bahwa objek lah yang menentukan. Yang diutamakan adalah indra. Logikanya adalah induksi (menggunakan fakta-fakta yang bersifat khusus untuk mencapai pernyataan yang bersifat umum (generalisasi). Cara berpikirnya: aposteriori (sesuatu itu hanya dapat disimpulkan setelah peristiwanya terjadi)—dan teorinya: korespondensi (pernyataan yang sesuai dengan kenyataan adalah yang benar).
(iii) Institusionisme
Dalam aliran institusionalisme, objek dan subjek bersatu dan tidak berjarak. Tidak ada proses, baik proses induksi maupun deduksi. Kesimpulan itu muncul dengan tiba-tiba atau dengan begitu saja.
Filsuf-filsuf yang menganut Intuisionisme:
1. Henry Bergson (1859-1941)—Intuisi sebagai filsafat hidup. Intuisi di sini merupakan naluri yang tidak terpengaruh, atau sadar-diri, yang mampu merenungkan obyeknya dan memperluasnya secara tidak terbatas;
2. Edmund Husserl (1859-1938, kelahiran Ceko)—Menganut Intuisi Fenomenologis. Husserl merupakan pelopor dari aliran intuisi fenomenologis ini. Fenomena (gejala) hanya mungkin ditangkap dengan intuisi (tanpa melalui tahap-tahap penyimpulan inferensial).
Kalimat terkenal Huserl: “Zu den Sachen selhst” (kembali ke benda-benda itu sendiri). Objek-objek harus diberi kesempatan untuk berbicara.
Fenomenologi
Fenomenologi
Fenomenologi adalah cara berpikir yang relatif baru; keberadaannya dimulai pada abad ke-20 ini. Aliran fenomenologi melihat sesuatu sebagai gejala (ilmu pun dianggap sebagai gejala, atau bentuk tertentu kesadaran manusia). Fenomenon berarti sesuatu yang tampak—dari kata phainomai yang dalam bahasa Yunani berarti memperlihatkan diri.
Menurut Husserl, subjek-objek selalu menyatu dan tidak berjarak. Segala sesuatu terkait dengan kesadaran (intensionalitas). Saya melihat batu—saya sadar bahwa saya bukan batu. Jadi segala sesuatu dilihat berdasarkan relativitas atau hubungannya dengan obyek yang lain (Relativisme). Untuk melihat saya, saya butuh orang lain. (I’m not the center—manusia bukan pusat segalanya). Eksistensi ditentukan oleh ko-eksistensi.
Pengetahuan merupakan konstruksi logika atas data inderawi (baik yang faktual maupun yang bersifat mungkin). To really know something is to experience. Dunia nyata bukan abstraksi tetapi harus dialami (lived world, lebenswelth). Untuk dapat dikembangkan lived world atau lebenswelth ini dikembangkan teori tafsir-menafsir (hermeneutika).
Ilmu-ilmu modern terlalu menyederhanakan kenyataan, sekedar mereduksinya ke dalam simbol (misalnya, air menjadi H2O), padahal air merupakan simbol kesucian juga.
Aliran Intuisi Fenomenologis ini kemudian dikembangkan oleh:
(i) Max Scheler (1874-1928);
(ii) Martin Heidegger (1889-1976);
(iii) Sartre (1905-1980);
(iv) Marleau-Ponty (1908-1961)
Fenomenologi mencari Wesenschau, yang artinya adalah cara melihat secara intuitif hakikat dari gejala-gejala. Fenomenologi melihat sesuatu secara komprehensif, dan tidak hanya dari satu sudut pandang saja, atau dari satu ideologi tertentu. Untuk itu, fenomenologi menerapkan 3 reduksi, yang konon diperlukan agar intuisi dapat menangkap hakikat dari gejala-gejala atau objek-objek—yaitu:
(i) Reduksi Fenomenologis—Singkirkan segala sesuatu yang subjektif. Apa yang merupakan hakikat (nilai atau konsep) ditentukan oleh objek itu sendiri. Dengan demikian, biarkan objek itu yang berbicara melalui relasinya dengan objek lain;
(ii) Reduksi Eiditis—(eidetic reduction, which is the abstraction of essences)—Singkirkan pengetahuan yang terlanjur ada tentang objek itu, termasuk hipotesis. Dengan cara ini, kita dapat mencapai yang inti.
(iii) Reduksi Transenden (transcendental idealism)—Singkirkan tradisi pengetahuan.
Indikasi bahwa institusi itu bekerja adalah sebagai berikut:
1. Frekuensi terjadinya peristiwa itu sangat jarang/ langka;
2. Datangnya tidak dapat diprediksi/ dirancang;
3. Subjek yang berintuisi harus mengenal secara mendalam;
4. Subjek menangkap sinyal-sinyal yang tidak lazim/ unik;
5. Sinyal yang tidak lazim tersebut diproses dalam alam bawah sadar [menurut penganut institusionisme, penarikan kesimpulan berdasarkan proses alam bawah sadar ini adalah penarikan kesimpulan yang paling tinggi, di atas deduksi dan induksi];
6. Muncul perasaan tidak tenang/ aneh sehingga menimbulkan keyakinan bahwa suatu yang tidak biasa akan terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar