Selamat Datang di blogspot Filkumania Bentham.

Blogspot ini merupakan jurnal perkuliahan mata kuliah Filsafat Hukum, yang dibimbing oleh Bapak Shidarta,S.H,.M.H.



Dibuatnya blogspot ini dengan tujuan untuk saling berbagi dan berdiskusi tentang Filsafat Hukum. Dan sekaligus juga bisa sebagai panduan teman-teman yang akan mengambil mata kuliah Filsafat Hukum.



Kamis, 04 November 2010

Jurnal Perkuliahan X


POSITIVISME HUKUM

Tanggal : 1 Oktober 2010 

Filsuf pertama yang menciptakan konsep positivisme ini adalah Saint Simon, tetapi yang mengembangkan adalah Auguste Compte, yang merupakan asisten dari Simon. Pada bukunya le Cout de Philosophie Positive, Compte menawarkan positivisme sebagai agama baru.

Positivisme Hukum
▪ Sesuatu itu disebut positif apabila telah ditetapkan atau diletakkan oleh penguasa. Latin: ponere-posui-positus: “meletakkan” salah-benar/adil-tak adil itu tergantung dari hukum yang telah diletakkan.
▪  Hukum adalah perintah manusia (penguasa); tidak ada kaitan antara hukum dan moral. Hukum itu amoral (bebas nilai, netral dan dengan demikian, tidak bersentuhan dengan moral)

Perbedaan dalam asumsi antara aliran positivisme dan positivisme hukum

1).  Logiko Empirisme—yang benar adalah yang dapat dibuktikan secara empiris. Teori yang dipakai adalah teori korespondensi—suatu pernyataan dianggap benar sepanjang pernyataan tersebut sesuai dengan kenyataan

      Dalam positivisme, jika tidak dapat dibuktikan secara empiris, maka tidak benar. Pada kenyataannya, dalam hukum banyak fiksi-fiksinya, seperti asumsi bahwa semua orang mengerti hukum.

2).  Realitas Objektif—Hanya ada satu saja realitas yang objektif itu; tidak ada ruang bagi interpretasi subjektif. Subjek-objek terpisah—benda/objek itu lah yang merupakan realitas atau kenyataan, bukan subjeknya (subjek tidak boleh menyatu dengan objeknya, namun harus memisahkan diri atau menjaga jarak dari objek itu agar tidak diberikan penilaian secara subjektif—namun dapat melihat segala sesuatu apa adanya. 

      Perlu diperhatikan bahwa tidak semua objek bisa dikaji secara empiris (atau secara realitas-objektif)—yang bisa adalah yang reduktif.
      Dalam positivisme, hanya ada satu saja realitas yang objektif; namun pada kenyataannya, hukum senang bermain dengan interpretasi. Jika terdapat satu realitas saja, maka tidak akan ada pihak-pihak yang berlawanan dalam suatu perkara hukum. Dengan kata lain, dalam positivisme hukum, subjektivitas itu bermain.

3).  Reduksionisme—dapat dipilah-pilah menjadi satuan yang kecil-kecil untuk diamati.
      Positivisme diharapkan dapat menyatukan ilmu-ilmu yang objeknya beragam (seperti psikologi, hukum) yang masing-masing menawarkan metode yang beragam sehingga kebenaran itu beragam pula. Dengan kata lain, positivisme bertujuan untuk mencapai “unified science”. Pendekatannya adalah dengan menggunakan hukum-hukum fisika. 

      Pada positivisme, obyek dipilah-pilah menjadi satuan yang kecil-kecil untuk diamati. Pada kenyataannya, obyek hukum tidak dapat dipilah-pilah. Apabila mengadili seseorang, kita melihat orang itu secara keseluruhannya,

4).  Determinisme—menunjukkan adanya keteraturan dalam hukum-hukum fisika tersebut sehingga dunia dapat dikendalikan.Dalam positivisme, kausalitas dapat ditentukan (deterministik). 

     Pada kenyataannya, hukum itu memang melibatkan kausalitas, tetapi non-deterministik. Seseorang yang melakukan pelanggaran mungkin tidak dihukum karena adanya pengecualian-pengecualian di dalam hukum (seperti di bawah umur atau pihak lawan tidak ingin menindak misalnya). 

5).  Asumsi Bebas Nilai—terkait dengan realitas objektif; sebagai konsekuensi dari realitas objektif maka asumsi bebas nilai harus digunakan. Dengan kata lain, kita tidak boleh memberikan interpretasi-interpretasi atau penilaian baik-buruk terhadap ilmu pengetahuan. Misalnya teknologi cloning—bila melihat teknologi tersebut, kita tidak boleh memikirkan baik-buruknya, namun melihatnya dari segi ilmu pengetahuan baru yang akan kita dapatkan. Dengan kaca mata positivisme diharapkan ilmu pengetahuan itu semakin berkembang.

      Pada kenyataannya, hukum itu tidak bebas nilai, malah menilai orang—dengan melihat orang tersebut dari faktor-faktor yang meringankan atau memperberat dakwaan terhadap terdakwa.

Positivisme Hukum
1).  Laws are commands of human being (hukum adalah buatan manusia)

2).  Tidak ada hubungan antara hukum dan moralitas. Moral membicarakan tentang seyogyanya—namun hukum hanya memperhatikan hukum itu sendiri, dan bukan harus bagaimana seyogyanya hukum itu

3).  Analisis hukum bersifat konsepsual, bukan analisis sosiologis atau historis. Dengan kata lain, positivisme hukum hanya bermain konsep. Misalnya, pelaku suatu pelanggaran bisa merupakan orang (individual) atau badan hukum. Di sini, kita bisa melihat apa konsep badan hukum itu—jika cocok dengan pelaku, maka konsep itu dapat diterapkan dalam mengkaji pelanggaran yang terkait;

4).  Sistem hukum merupakan sistem logikal tertutup, dengan logika deduktif  (putusan dideduksi dari norma hukum yang telah ada (predetermined) tanpa merujuk pada tujuan sosialnya, kebijakan-kebijakan atau standar moral. 


5).  Ada non-cognitivisme dalam etika—dalam melihat suatu perbuatan, kita harus memisahkan antara moral dan hukumnya. Jika mencari dimensi moral pada unsur-unsur pencurian misalnya—di mana akan kita temukan? Kita tidak boleh mengambil kesimpulan berdasarkan generalisasi.

      Positivisme hukum tidak mempunyai data empiris. Karena analisanya terpisahkan (insulated) dari dunia empiris, maka positivisme hukum tidak merasa perlu menyimpan data empiris, melainkan cukup berupa proposisi (premis) yang diturunkan dari norma positif dari sistem perundang-udnangan.


Dasar dari positivisme hukum:
1). Analytical Jurisprudence (John Austin) (dipengaruhi oleh utilitarianisme--Bentham) dan berkembangnya di Inggris
2). The Pure Norm (berkembang di Austria, Jerman).

Apakah Hukum itu?

John Austin (1790-1859)—dengan memperoleh inspirasi dari Jeremy Bentham (aliran utilitarianisme)—melihat hukum sebagai sekumpulan tanda-tanda (signs) yang mencerminkan kehendak yang disusun atau diadopsi oleh pemerintah kekuasaan.

Dengan demikian, hukum positif adalah ungkapan tentang kehendak yang membawa sanksi dan diekspresikan dengan tegas ke semua orang (generality dan indiskriminatif).

Formulanya untuk hukum positif ini adalah—WSEG + S
(Wish, Sanction, Expression of Wish, Generality)        (Sovereign)

Jika dikatakan bahwa hukum positif itu merupakan ungkapan tentang aturan berkehendak, maka kehendak siapa yang dibahas di sini? Kehendak di sini harus dibulatkan sehingga menjadi full will—dan dengan demikian, harus menampung komponen-komponen yang lain, yaitu:
1).  The current sovereign
2).  Earlier sovereign;
3).  Subordinate powerholders
4).  Any other group/ individual 

Konsep-konsep di atas dianalisa secara mendalam—inilah analytical jurisprudence. Adapun pendekatan yang digunakan Austin adalah constructive metaphore (kehendak metafisis). Pendekatan ini sangat sosiologis sifatnya; ia menyatakan bahwa apabila hukum itu ingin ditaati, maka harus menampung kehendak-kehendak masyarakat.

Apabila kita menggunakan positivisme hukum, maka kita tidak perlu memperdulikan teori Austin—karena yang dipentingkan itu bukan pembentukannya, tetapi penegakannya. Apabila hukum ingin ditegakkan, maka interpretasi-interpretasi harus dihindarkan. Positivisme hukum ini mengedepankan social control.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar