Selamat Datang di blogspot Filkumania Bentham.
Blogspot ini merupakan jurnal perkuliahan mata kuliah Filsafat Hukum, yang dibimbing oleh Bapak Shidarta,S.H,.M.H.
Dibuatnya blogspot ini dengan tujuan untuk saling berbagi dan berdiskusi tentang Filsafat Hukum. Dan sekaligus juga bisa sebagai panduan teman-teman yang akan mengambil mata kuliah Filsafat Hukum.
Dibuatnya blogspot ini dengan tujuan untuk saling berbagi dan berdiskusi tentang Filsafat Hukum. Dan sekaligus juga bisa sebagai panduan teman-teman yang akan mengambil mata kuliah Filsafat Hukum.
Selasa, 30 November 2010
aliran utiliarisme
aliran ini pada umumnya dipelopori oleh jeremy bentham.
namun satu hal yang terjadi dalam aliran ini adalah dengan adanya
namun satu hal yang terjadi dalam aliran ini adalah dengan adanya
Selasa, 23 November 2010
jurnal pertemuan 12
Pendapat paul ricour:
· Tokoh Yang tidak pernah yakin sejarah by proses tetapi by design
· Dikenal dengan filsafat ketegangan
· Adanya ketegangan antara manusia
Yang menarik:
· Waktu kosmologis ( waktu yang tidak berubah)
Perbedaan ruang dan waktu tidak berubah namun karena ada ruang yang ditempati manusia , jadi berubah ruang menghubungkan suatu cerita disebut plot.
Plot dalam sejarah membuat cerita atau narasi merupakan sarana untuk mengubah waktu manusia.
Waktu manusia kita kesankan waktu kosmologis.
· Waktu manusia ( berubah-ubah tergantung manusia)
Keterkaitan mazhab sejarah dengan hukum adat van vollenhoven:
1. Hukum adat merupakan ipso facto artinya ia berlaku sebagai fakta dan tidak berlaku ketentuan yuridis formal.
2. Ia mencita-citakan hukum bisa dihitamkan
3. Ter haar tidak sabar dengan kodifikasi , sehingga menganjurkan pejabat
Intinya
Pluralisme yang lemah yang dimaksud adalah hukum non negara ada dalam dominasi hukum negara.
Pluralisme yang kuat yang dimaksud adalah posisi hukum negara dianggap sederajat dengan hukum non negara
Tradisi civil law tidak menginginkan pluralisme namun common law sudah mengenal pluralisme
Common law ada 2 pengertian yaitu nama sistem hukum dan nama subsistem yang bersandungan dengan equity.
Pendapat Sally F moore
Wilayah sosial yang semi otonom negara diasumsikan punya akses kemana-mana tapi hanya konsep diatas kertas. kenyataannya ada negara yang fakum hopun ada sayup-sayup kekuasaan. Apakah ada kevakuman dalam sosiologis tidak ada kevakuman dalam masyarakat punya kepintaran sendiri atau vigilante yang bisa mengisi hukum.
Persoalan dalam sosiologis tidak ada salah benar tapi empirik.jadi pluralisme menurut karena kekuasaan negara tidak bisa menjangkaunya sehingga muncul semi autonomis social field,ada wilayah yang lepas kontrol negara tapi dikuasai oleh masyarakat.
Sociological jurisprudence
· Terjemahan langsung ke teori hukum
· Introduction jurisprudence lebih luas atau abstrak dari ilmu hukum kita
· Juris system negara common law bisa saja dikaitkan dengan jurispruden law yaitu judge made law
· Posisi hakim merupakan law creater (labus della loei[hukum sebagai undang-undang])
Yang menarik
1. Aliran ini meyakini hukum baru bisa menjadi hukum kalo kita menghakimi ada perbedaan prinsip
2. Aliran ini diikat oleh preseden
3. Preseden disebut strare decisis ysng sifatnya binding force of procedure.
Abad 19 raja inggris bernama henry mengirim putusan ke seluruh negara inggris ,supaya utusan ini menjadi hakim bagi keadilan raja (kings court).
Saat itu dipakai oleh amerika
Kings court tidak memutuskan sembarang dengan melihat kebiasaan setempat supaya bisa menyerap kebiasaan orang awam maka dengan mengambil orang awam sebagai juri dan putusannya disimpan oleh hakim.
Jika dia berpindah dan mendapatkan masalah yang sama maka dapat diputuskan sama tidak berubah-ubah. Tapi daerah ada chancelor untuk memutuskan perkara maka munculah king of chancelor sehingga yang menjadi dasar equity. Maka di inggris ada common law and equity supreme court judicator berdiri di inggris
Hakikat hukum
menurut roscoe pound bahwa dia :
- dia menggantikan hukum merupakan ilmu pasti yang bisa diaotak-atik, mengumpulkan putusan hakim dan cara polanya
- kalo seperti itu hakim hanya memutuskan putusan sebelumnya hukujm mempunyai agenda sendiri sehingga tidak mengikuti masyarakat.
- 3. dalam hukum itu ada pengalaman dan resert saling menyatu berasal dari tesis positivisme dan antitesisnya.
Oliver wendel mengatakan bahaw orang belajar hukum harus belajar multidisipliner dan tidak bisa monodisipliner karena ilmu statis.
Aliran sociological hukum memandang judge made law seirig dengan perkembangan zaman sistem civil law dan common law bertemu keuntungan undang-undang bisa membantu masyarakat supaya hak-hak bisa dilindungin
Taksonomi berguna bisa memberikan kontribusi tentang hak atau kepentingan lebih berangkat perlindungan itu diberikan selain itu merupakanh public interest dan social interest
skema:
aliran mencoba mempersempit cara berpikirnya bermain pada hukum positif dengan law in action dia tidak satu-satunya tapi simultan
law as a tool an enggineering maka posisi masyrakat lebih mendekati hukum
teori hukum pembangunan
1.indonesia tentang menghadapi suatu pembangunan
* sehingga semangat pembangunan harus menyemangati hukum kita
*. pembangunan begitu penting sehingga pembangunan itu perspektifnya hubungan hukum dan masyarakat menjadi sociological jurisprudence.
hukum dianggap kaidah sosial
REFLEKSI
Bahwa dalam tradisi masyarakat adanya hukum kebiasaan dan dalam penerapannya masyarakat sering menggunankan hukum tersebut dalam mengisi kekosongan hukum dengan adanya suatu kebiasaaan
tersebut
tersebut
SOSIO jurisprudence lebih mengutamakan hakim-hakim mengikuti putusan pada hakim pada kasus yang sama. Namun preseden tersebut terkesan terlalu kaku atau hanya terfokus pada pada preseden tersebut.
PERTANYAAN
Bagaimana seandainya terjadi suatu masalah yang pemecahannya belum pernah ada seperti hal-hal pada preseden-preseden terdahulu?
pendapat Bagaimanakah cara menentukan batasan-batasan pada suatu penafsiran filsafat berdasarkan paul ricour?
jurnal pertemuan 13
Hakikat hukum
menurut roscoe pound bahwa dia :
- dia menggantikan hukum merupakan ilmu pasti yang bisa diaotak-atik, mengumpulkan putusan hakim dan cara polanya
- kalo seperti itu hakim hanya memutuskan putusan sebelumnya hukujm mempunyai agenda sendir8i sehingga tidak mengikuti masyarakat.
- 3. dalam hukum itu ada pengalamana dan resert saling menyatu berasal dari tesis positivisme dan antitesisnya.
Oliver wendel mengatakan bahawa orang belajar hukum harus belajar multidisipliner dan tidak bisa monodisipliner karena ilmu statis.
Aliran sociological hukum memandang judge made law seirig dengan perkembangan zaman sistem civil law dan common law bertemu keuntungan undang-undang bisa membantu masyarakat supaya hak-hak bisa dilindungin
Taksonomi berguna bisa memberikan kontribusi tentang hak atau kepentingan lebih berangkat perlindungan itu diberikan selain itu merupakanh public interest dan social interest
skema:
aliran mencoba mempersempit cara berpikirnya bermain pada hukum positif dengan law in action dia tidak satu-satunya tapi simultan
law as a tool an enggineering maka posisi masyrakat lebih mendekati hukum
teori hukum pembangunan
1.indonesia tentang menghadapi suatu pembangunan
* sehingga semangat pembangunan harus menyemangati hukum kita
*. pembangunan begitu penting sehingga pembangunan itu perspektifnya hubungan hukum dan masyarakat menjadi sociological jurisprudence.
ukum dianggap kaidah sosial
realisme hukum
aliran yang paling baru pada abad ke 20
3 hal yang menjadi peniru:
1. adanya gerakan-gerakan progresive yang dikaji masyarakta bahwa hukum itu sesuatu yang baik tidak berat sebelah
2. pada abad ke 20 muncul ilmu-ilmu perilaku yang baru
3. gerakajn itu dipicu oleh gerakan-gerakan peradilan
9 titik tolak yang bisa membantu dalam realisme hukum menurut karl llewellyn:
1. kalo ingin menjadi realis hukum harus terus bergejolak tidak pernah stabil dia tidak bersifat momentary namun nonmomentary
2. selalu bahwa hukum itu ditujukan kepada satu tujuam atau objektif untuk mencapai kemasyarakatan tidak pernah untuk diri sendiri
3. kalo hukum bergerak masyarakat jugabergerak tetapi hukum bergerak lebih lambat
4. orang bisa saja belajar hukum tapi harus dipisahkan antara hukum seharusnya dan hukum semestinya tetapi hanya sebatas kertas saja. Masyarakat melihat hukum itu tidak terlalu memikirkan filsafat hukumnya
5. aliran ini tidak pernah percaya pada aturan-aturan konseptidak tradisional percaya pada deskriptif saja tentang apa senyatanya berbuat. Jadi adanya Undang-undang hanya ancer-ancer saja tidak ada gambarannya
6. kita percaya kalo hakim-hakim kalo membuat keputusan ideal mengikuti apayang dipelajari dari undang-undang tapi hakim hanya persoalan rutinitas.
7. aliran ini percaya mempelajari analisis hukum dalam banyak yang mikro yang sempit masalahnya mereka tidak percaya UU tidak pernah ada satu aturan berlaku semuanya
8. seorang realis selalu bersikeras dalam dampak mikro tidak bicara keadilan keadilan selalu makro jadi bicara mikro selalu bicara kemanfaaatan
9. selalu ada in system atau desakan yang kuat terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang ujung-ujungnyta pragmatis merupakan serangan pragmatis (merupakan kaca mata sehingga lepas satu-satu secara permasalahan satu demi satu masalah dipecahkan
refleksi
dalam social jurisprudence tidak hanya menyesuaikan tidak hanya dari kebiasaan saja namun lebih diarahkan pada apa yang masyarakat butuhkan dalam situasi dan kondisi yang diperlukan oleh masyarakat berdasarkan sejara-sejarah terdahulu. Selain itu dalam realisme hukum persoalan-persoalan yang dihadapi lebih bersifat rutinitas.
Pertanyaan
apa yang dapat membedakan antara realisme hukum dan sociological jurisprudence.
Apa batasan-batasan antara social jhurisprudence dan realisme hukum
Jurnal Perkuliahan XI
TOPIK : Positivisme Hukum part 2
Tanggal : 27 Oktober 2010
Imputation (Zuhrenung) terkait dengan kapasitas seorang subjek hukum untuk melakukan perbuatan hukum.
H.L.A Hart : setuju "law as a command' , ia menyoroti hukum yang terjadi pada masyarakat yang sederhana.
Jadi, hukum selalu terdiri dari aturan primer dan aturan sekunder. Aturan primer lebih ditujukan untuk masyarakat umum sedangkan aturan sekunder lebih untuk para pengemban (fungsionaris) hukum.
Ia meganggap The Ultimate rule of recognation sebagai sumber hukum tertinggi. Jadi kebenaran itu harus bisa diuji dengan fakta (kondisi masyarakat sekarang) yaitu Truism (kebenaran tidak dapat disangkal lagi).
REFLEKSI
- Nomostatics - tidak dibutuhkan adanya kekuasaan
- Nomodynamics - kalu hukum perbuatan pemerintah
- aturan Primer menurut Hart adalah tentang kewajiban manusia untuk berbuat / tidak berbuat (rules of obligation), yang berasal dari aturan sosial (social rules)
sedangakan aturan Sekunder adalah aturan yang muncul setelah ada aturan primer, menyatakan aturan sah / tidak sah. sumber-sumber itu ada hirarkinya, berpuncak pada "the ultimate rule of recognition"
Tanggal : 27 Oktober 2010
Imputation (Zuhrenung) terkait dengan kapasitas seorang subjek hukum untuk melakukan perbuatan hukum.
H.L.A Hart : setuju "law as a command' , ia menyoroti hukum yang terjadi pada masyarakat yang sederhana.
Jadi, hukum selalu terdiri dari aturan primer dan aturan sekunder. Aturan primer lebih ditujukan untuk masyarakat umum sedangkan aturan sekunder lebih untuk para pengemban (fungsionaris) hukum.
Ia meganggap The Ultimate rule of recognation sebagai sumber hukum tertinggi. Jadi kebenaran itu harus bisa diuji dengan fakta (kondisi masyarakat sekarang) yaitu Truism (kebenaran tidak dapat disangkal lagi).
UTILITARIANISME
Asumsi Dasar dari utilitarianisme adalah
- ukuran kebaikan adalah apa yang berguna bagi kehidupan manusia ( hukum yang memberikan kemanfaatan )
- tujuan kemanfaatan ini dikejar semua orang dengan mengambil prinsip The Will Theory
- moralitas utilitarianisme mengutamakan kepentingan keseluruhan diatas pribadi
Tokoh-tokoh Utilitrianisme :
- Jeremy Bentham: Kesenangan (pleasure)
- John stuart mill : Kebahagiaan ( happiness )
- G.E Moore ; Nilai-nilai ideal ( ideal values )
Jeremy Bentham ( 1748-1832 )
Tiga asumsi penting:
- The greatest happiness of the greatest number.
- orang tidak boleh berbuat bertentangan dengan kesenangan ( pleasure )
- tindakan yang baik adalah jika menambah kesenangan. Tindakan yang buruk adalah sebaliknya.
Manusia dikuasai oleh dua kekuasaan : penderitaan dan kesenangan. Kekuasaan inilah yang menentukan perilaku kita,termasuk baik buruk= The principle of utility. Prinsip ini selalu dapat dibuktikan kebenarannya sehingga layak disebut sebagai Prinsip Etis Terakhir. Prinsip ini berlaku bagi individu dan masyarakat.
John Struart Mill ( 1806-1873 )
Happiness , bukan pleasure yang menjadi “ Standard of Utility “
Keuntungan : standar lebih tinggi, lebih spesifik kepada manusia, berkenaan dengan realisasi tujuan-tujuan.
Kerugian : lebih sukar diukur
G.E Moore : ideals values
Kita harus memaksimalkan “ ideal values “ seperti kebebasan ( freedom ), pengetahuan ( knowledge ), keadilan ( justice ) , dan kecantikan ( beauty ).
REFLEKSI
- Nomostatics - tidak dibutuhkan adanya kekuasaan
- Nomodynamics - kalu hukum perbuatan pemerintah
- aturan Primer menurut Hart adalah tentang kewajiban manusia untuk berbuat / tidak berbuat (rules of obligation), yang berasal dari aturan sosial (social rules)
sedangakan aturan Sekunder adalah aturan yang muncul setelah ada aturan primer, menyatakan aturan sah / tidak sah. sumber-sumber itu ada hirarkinya, berpuncak pada "the ultimate rule of recognition"
Kamis, 04 November 2010
Jurnal Perkuliahan X
POSITIVISME HUKUM
Tanggal : 1 Oktober 2010
Tanggal : 1 Oktober 2010
Filsuf pertama yang menciptakan konsep positivisme ini adalah Saint Simon, tetapi yang mengembangkan adalah Auguste Compte, yang merupakan asisten dari Simon. Pada bukunya le Cout de Philosophie Positive, Compte menawarkan positivisme sebagai agama baru.
Positivisme Hukum
▪ Sesuatu itu disebut positif apabila telah ditetapkan atau diletakkan oleh penguasa. Latin: ponere-posui-positus: “meletakkan” salah-benar/adil-tak adil itu tergantung dari hukum yang telah diletakkan.
▪ Hukum adalah perintah manusia (penguasa); tidak ada kaitan antara hukum dan moral. Hukum itu amoral (bebas nilai, netral dan dengan demikian, tidak bersentuhan dengan moral)
Perbedaan dalam asumsi antara aliran positivisme dan positivisme hukum
1). Logiko Empirisme—yang benar adalah yang dapat dibuktikan secara empiris. Teori yang dipakai adalah teori korespondensi—suatu pernyataan dianggap benar sepanjang pernyataan tersebut sesuai dengan kenyataan
Dalam positivisme, jika tidak dapat dibuktikan secara empiris, maka tidak benar. Pada kenyataannya, dalam hukum banyak fiksi-fiksinya, seperti asumsi bahwa semua orang mengerti hukum.
2). Realitas Objektif—Hanya ada satu saja realitas yang objektif itu; tidak ada ruang bagi interpretasi subjektif. Subjek-objek terpisah—benda/objek itu lah yang merupakan realitas atau kenyataan, bukan subjeknya (subjek tidak boleh menyatu dengan objeknya, namun harus memisahkan diri atau menjaga jarak dari objek itu agar tidak diberikan penilaian secara subjektif—namun dapat melihat segala sesuatu apa adanya.
Perlu diperhatikan bahwa tidak semua objek bisa dikaji secara empiris (atau secara realitas-objektif)—yang bisa adalah yang reduktif.
Dalam positivisme, hanya ada satu saja realitas yang objektif; namun pada kenyataannya, hukum senang bermain dengan interpretasi. Jika terdapat satu realitas saja, maka tidak akan ada pihak-pihak yang berlawanan dalam suatu perkara hukum. Dengan kata lain, dalam positivisme hukum, subjektivitas itu bermain.
3). Reduksionisme—dapat dipilah-pilah menjadi satuan yang kecil-kecil untuk diamati.
Positivisme diharapkan dapat menyatukan ilmu-ilmu yang objeknya beragam (seperti psikologi, hukum) yang masing-masing menawarkan metode yang beragam sehingga kebenaran itu beragam pula. Dengan kata lain, positivisme bertujuan untuk mencapai “unified science”. Pendekatannya adalah dengan menggunakan hukum-hukum fisika.
Pada positivisme, obyek dipilah-pilah menjadi satuan yang kecil-kecil untuk diamati. Pada kenyataannya, obyek hukum tidak dapat dipilah-pilah. Apabila mengadili seseorang, kita melihat orang itu secara keseluruhannya,
4). Determinisme—menunjukkan adanya keteraturan dalam hukum-hukum fisika tersebut sehingga dunia dapat dikendalikan.Dalam positivisme, kausalitas dapat ditentukan (deterministik).
Pada kenyataannya, hukum itu memang melibatkan kausalitas, tetapi non-deterministik. Seseorang yang melakukan pelanggaran mungkin tidak dihukum karena adanya pengecualian-pengecualian di dalam hukum (seperti di bawah umur atau pihak lawan tidak ingin menindak misalnya).
5). Asumsi Bebas Nilai—terkait dengan realitas objektif; sebagai konsekuensi dari realitas objektif maka asumsi bebas nilai harus digunakan. Dengan kata lain, kita tidak boleh memberikan interpretasi-interpretasi atau penilaian baik-buruk terhadap ilmu pengetahuan. Misalnya teknologi cloning—bila melihat teknologi tersebut, kita tidak boleh memikirkan baik-buruknya, namun melihatnya dari segi ilmu pengetahuan baru yang akan kita dapatkan. Dengan kaca mata positivisme diharapkan ilmu pengetahuan itu semakin berkembang.
Pada kenyataannya, hukum itu tidak bebas nilai, malah menilai orang—dengan melihat orang tersebut dari faktor-faktor yang meringankan atau memperberat dakwaan terhadap terdakwa.
Positivisme Hukum
1). Laws are commands of human being (hukum adalah buatan manusia)
2). Tidak ada hubungan antara hukum dan moralitas. Moral membicarakan tentang seyogyanya—namun hukum hanya memperhatikan hukum itu sendiri, dan bukan harus bagaimana seyogyanya hukum itu
3). Analisis hukum bersifat konsepsual, bukan analisis sosiologis atau historis. Dengan kata lain, positivisme hukum hanya bermain konsep. Misalnya, pelaku suatu pelanggaran bisa merupakan orang (individual) atau badan hukum. Di sini, kita bisa melihat apa konsep badan hukum itu—jika cocok dengan pelaku, maka konsep itu dapat diterapkan dalam mengkaji pelanggaran yang terkait;
4). Sistem hukum merupakan sistem logikal tertutup, dengan logika deduktif (putusan dideduksi dari norma hukum yang telah ada (predetermined) tanpa merujuk pada tujuan sosialnya, kebijakan-kebijakan atau standar moral.
5). Ada non-cognitivisme dalam etika—dalam melihat suatu perbuatan, kita harus memisahkan antara moral dan hukumnya. Jika mencari dimensi moral pada unsur-unsur pencurian misalnya—di mana akan kita temukan? Kita tidak boleh mengambil kesimpulan berdasarkan generalisasi.
Positivisme hukum tidak mempunyai data empiris. Karena analisanya terpisahkan (insulated) dari dunia empiris, maka positivisme hukum tidak merasa perlu menyimpan data empiris, melainkan cukup berupa proposisi (premis) yang diturunkan dari norma positif dari sistem perundang-udnangan.
Dasar dari positivisme hukum:
1). Analytical Jurisprudence (John Austin) (dipengaruhi oleh utilitarianisme--Bentham) dan berkembangnya di Inggris
2). The Pure Norm (berkembang di Austria, Jerman).
Apakah Hukum itu?
John Austin (1790-1859)—dengan memperoleh inspirasi dari Jeremy Bentham (aliran utilitarianisme)—melihat hukum sebagai sekumpulan tanda-tanda (signs) yang mencerminkan kehendak yang disusun atau diadopsi oleh pemerintah kekuasaan.
Dengan demikian, hukum positif adalah ungkapan tentang kehendak yang membawa sanksi dan diekspresikan dengan tegas ke semua orang (generality dan indiskriminatif).
Formulanya untuk hukum positif ini adalah—WSEG + S
(Wish, Sanction, Expression of Wish, Generality) (Sovereign)
Jika dikatakan bahwa hukum positif itu merupakan ungkapan tentang aturan berkehendak, maka kehendak siapa yang dibahas di sini? Kehendak di sini harus dibulatkan sehingga menjadi full will—dan dengan demikian, harus menampung komponen-komponen yang lain, yaitu:
1). The current sovereign
2). Earlier sovereign;
3). Subordinate powerholders
4). Any other group/ individual
Konsep-konsep di atas dianalisa secara mendalam—inilah analytical jurisprudence. Adapun pendekatan yang digunakan Austin adalah constructive metaphore (kehendak metafisis). Pendekatan ini sangat sosiologis sifatnya; ia menyatakan bahwa apabila hukum itu ingin ditaati, maka harus menampung kehendak-kehendak masyarakat.
Apabila kita menggunakan positivisme hukum, maka kita tidak perlu memperdulikan teori Austin—karena yang dipentingkan itu bukan pembentukannya, tetapi penegakannya. Apabila hukum ingin ditegakkan, maka interpretasi-interpretasi harus dihindarkan. Positivisme hukum ini mengedepankan social control.
Jurnal Perkuliahan XI
ALIRAN KODRAT
Tanggal 24 & 29 September 2010
Tanggal 24 & 29 September 2010
Perbedaan antara Natural Law dan Law of Nature
Natural Law adalah hukum kodrat, sementara the Law of Nature adalah hukum alam semesta, seperti hukum Archimedes.
Latar Belakang Aliran Kodrat
- Dirintis pada masa Yunani Kuno
- Dipertanyakan oleh Cicero
- Dianalisis oleh Thomas Aquinas (aliran Tomisme). Aliran ini sebelumnya sebagai aliran yang resmi (yang menyatakan bahwa moralitas itu adalah hukum agama), sehingga Konsili Vatikan Kedua menyatakan bahwa di luar gereja tidak ada keselamatan à ultra Ecclesiam nulla salus
- Dianggap berguna sebagai sumber memahami prinsip-prinsip hukum internasional dan penafsiran konstitusi (terutama oleh hakim-hakim di Amerika)
Karakteristik Aliran Kodrat
1). Aliran Kodrat mengidentikkan hukum dan moralitas (aliran kodrat selalu berisi satu atau lebih nilai-nilai moral atau hukum, atau pertimbangan moral—dan nilai-nilai ini diterapkan dari aspek yang umum ke yang konkrit (yang berlaku pada peristiwa-peristiwa tertentu);
2). Aliran ini menggunakan 2 sumber (untuk pertimbangan moral)—(i) Wahyu Tuhan dan (ii) rasio. Sebagai konsekuensinya, aliran kodrat ini memiliki cabang yang irasional (yang berpegang pada Wahyu Tuhan) dan yang rasional. Namun demikian, penganut aliran kodrat ini—baik yang bersumber dari Wahyu Tuhan atau dari rasio—sependapat mengenai keberlakuan aliran kodrat yang universal dan abadi (yaitu aliran kodrat sebagai suatu ranah hukum yang melebihi ruang dan waktu);
3). Aliran kodrat ini terjangkau oleh rasio manusia (apabila rasio itu diterapkan dengan benar)—dan dengan demikian, merupakan objek penelaahan rasio. Dengan kata lain, hukum kodrat harus bisa ditelaah oleh rasio manusia walau terkadang dengan menggunakan justifikasi-justifikasi;
4). Jika terdapat pertentangan antara hukum kodrat dan hukum positif, maka hukum positif yang dikesampingkan [menurut hukum kodrat, hukum kodrat ini berada di atas hukum positif].
Asumsi-Asumsi yang harus dibuat agar metode pemikiran Aquinas (yaitu hukum kodrat tradisional) ini valid:
1). Tuhan itu ada—hukum kodrat beroperasi berdasarkan asumsi Tuhan itu ada karena hukum kodrat itu dianggap bersumber dari Wahyu Tuhan. Dengan demikian, aliran kodrat cenderung sulit diterima oleh pemikir ateis/sekuler;
2). Penguasa politik memang selalu mengabdi demi kepentingan terbaik rakyatnya (yaitu memerintah dengan berdasarkan pada hukum kodrat sebagai referensinya. Hukum dianggap tidak sah apabila diimplementasikan dengan tidak memperhatikan kepentingan rakyatnya); pada kenyataannya, apabila hukum kodrat ini diimplementasikan oleh pemerintah yang lalim dengan tidak memperhatikan kepentingan rakyatnya, hukum tersebut juga tetap sah, dan menimbulkan pemerintahan yang otoriter;
3). Hanya ada satu tolak-ukur baik dan buruk (dengan demikian hukum kodrat bersifat universal)—asumsi ini lemah karena pada kenyataannya tidak semua komunitas memiliki persepsi yang sama mengenai hal yang baik dan yang buruk.
Kesimpulan—Moralitas, dalam versi ini, berasal dari hukum kodrat yang apabila lebih jauh lagi ditelusuri, berasal dari Tuhan.
2). Inner Morality Version (Versi Moralitas Terdalam)
Versi Inner Morality diajukan oleh Lon Fuller (1902-1978). Menurut versi ini, apabila hukum positif bertentangan dengan moralitas, maka hukum positif tersebut tetap sah sepanjang tidak melanggar “inner morality” dari hukum yang bersangkutan.
Moralitas hukum di sini dibedakan dari moralitas umum à moralitas dari hukum itu memiliki moralitas yang terdalam (non-derogable morality) yaitu inti dari hukum tersebut—misalnya, hak untuk hidup. Apabila ada hukum positif yang melanggar inner morality ini, maka hukum tersebut tidak sah.
Illat adalah sifat hakiki sebagai sumber keberlakuan hidup.
Inner morality ini adalah prima facie bagi ditaatinya suatu hukum. Tanpa adanya inner morality, hukum kehilangan otoritasnya untuk ditaati.
Principles of Legality (Asas-Asas Legalitas—merupakan teori Fuller yang sangat terkenal)
1). Suatu aturan itu harus dapat diterapkan ke semua orang (tidak boleh merupakan keputusan-keputusann ad hoc belaka, namun harus berupa aturan umum);
2). Aturan itu harus dipublikasikan kepada masyarakat luas;
3). Aturan tidak boleh berlaku surut (must not be retroactive, but instead must be prospective in effect)—tidak boleh diberlakukan terhadap kejadian-kejadian yang terjadi sebelum hukum tersebut dibuat;
4). Aturan harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti (yaitu harus dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh semua orang karena aturan itu bukan untuk kaum elitis saja; selain itu aturan juga tidak boleh ambigu dalam rumusannya);
5). Aturan-aturan itu harus konsisten dan tidak boleh saling bertentangan;
6). Aturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang secara wajar dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang terpengaruhi oleh aturan tersebut;
7). Aturan tidak boleh sering diubah-ubah;
8). Harus ada kecocokan antara aturan yang diundangkan dengan pelaksanaan aturan tersebut—pelaksanaan suatu aturan tidak boleh jauh berbeda dengan kata-kata dalam aturan tersebut.
Prinsip-prinsip moral yang dimaksudkan oleh Fuller ini terkait dengan hukum sebagai sistem hukum dan bukan hukum individual. Pelanggaran sistem hukum terhadap salah satu saja dari 8 prinsip ini, membuat sistem hukum itu tidak layak disebut sebagai sistem hukum. Dengan kata lain, kedelapan prinsip di atas harus dipatuhi seluruhnya agar suatu sistem itu layak disebut sebagai sistem hukum.
Teori Fuller tidak secara spesifik terfokus pada validitas suatu aturan menurut ukuran moralitas pribadi individual, tetapi lebih kepada sistem hukum keseluruhan.
Asumsi dalam Teori Fuller:
1). Manusia memiliki kebebasan untuk memilih baik-buruk (atas dasar inti moralitas hukum). Walupun telah ada inner moralitas, baik-buruk masih dapat tetap dipilih oleh masing-masing individual. Dengan demikian, tidak ada jaminan bahwa moralitas hukum tersebut sesuai dengan moralitas secara umum karena Teori Fuller tidak membahas moralitas secara umum;
2). Sama dengan kritik terhadap Teori Aquinas, inti moralitas hukum ini dapat ditetapkan/ dikontrol oleh penguasa; dengan demikian hukum yang tidak dilandasi dengan inner morality yang sesuai dengan moralitas umum tetap akan dianggap sah;
3). Inti moralitas hukum itu dijabarkan penguasa secara jelas, aplikatif dan konsisten ke dalam aturan perundang-undangan sebagai bagian dari genuine legal system-nya. Oleh karena itu, UU harus selalu berlaku ke depan (prospectively) dan bukan berlaku surut (retroactively);
4). Manusia berkewajiban mentaati UU demikian (prima facie obligation)
Kesimpulan—Moralitas menurut versi ini berasal dari sistem hukum; ia ada sebagai bagian internal sistem hukum tersebut (khususnya prinsip legalitas) (sangat sistemik).
3). Interpretive Version
Versi penafsiran atau interpretive version ini diajukan oleh Ronald Dworkin. Menurut Dworkin, apabila hukum positif bertentangan dengan moralitas, hukum tersebut sah sepanjang dapat dijustifikasikan secara moral (yaitu sepanjang penafsiran/interpretasi moral dapat ditarik dari peraturan itu).
Dworking menyatakan bahwa:
1). Hukum tak sekedar kumpulan norma, tetapi suatu ekspresi falsafah pemerintahan (asas-asas moral terbaik). Falsafah ini terutama memuat hubungan penguasa-rakyat yang dinyatakan secara eksplisit dalam konstitusi (yaitu jaminan hak-hak konstitusional rakyat);
2). Penafsiran hukum selalu dilakukan menurut pertimbangan moral.
Untuk mengetahui keberadaan asas moral terbaik itu, lihat kecocokannya dengan aturan lain dalam sistem hukum itu (the idea of fit)—logical consistency—and the power to justify/help provide a nationale for the rule.
Logical consistency dalam hukum terkait dengan 4 asas:
1). Eksklusi—sistem itu lengkap, dapat berdiri sendiri dan tidak perlu mencari solusi dari sistem yang lain (systemic)—dengan demikian tidak akan dikatakan inkonsisten dengan sistem hukum yang lain, karena tidak akan dilakukan perbandingan;
2). Subsumsi (hierarkis)—dalam suatu sistem ada sub-sistem—yaitu ada gradasi antara suatu sistem dengan sub-sistem-nya, dan antara sub-sistem yang ini dengan sub-sistem yang lebih rendah;
3). Derogasi (not-conflicting)—jika sampai konflik, maka yang satu mengesampingkan yang lain (sehingga yang diterapkan hanya satu);
4). Non-Kontradiksi (sifat norma adalah konsisten).
- Jika konsisten maka dapat diambil penafsiran atau dapat diinterpretasikan.
- Perhatikan bahwa yang menginterpretasikan di sini merupakan fungsionaris hukum itu sendiri; dengan demikian, interpretasi itu subjektif (dan sudah tidak universal lagi)—cenderung keluar dari hukum kodrat.
- Hukum itu harus ada akhirnya (harus ada keputusannya atau ada titik penyelesaiannya)—Lites Finiri Oportet.
Kesimpulan—Moralitas dalam versi ini berasal dari hasil interpretasi para pengemban hukum; moralitas itu ada di benak mereka terkait dengan makna hukum positif bagi mereka (sangat subyektif). Dengan kata lain, hukum adalah hasil konstruksi berpikir para praktisi.
Jurnal Perkuliahan VIII
ALIRAN-ALIRAN DALAM AKSIOLOGI (ETIKA)
Etika dapat dibedakan menjadi etika peraturan (deontologist) dan etika pragmatis/tindakan (teleologis), yang diasosiasikan dengan utilitarianisme.
Etika Peraturan (Deontologi)
Deontologi berasal dari kata Yunani “Deon” yang artinya kewajiban. Etika deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Ukuran baiknya suatu tindakan itu bukan dinilai dan dibernarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik dari tindakan itu, melainkan berdasarkan kebaikan dari tindakan itu sendiri. Dengan kata lain, suatu tindakan itu bernilai moral karenan tindakan itu dilaksanakan berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan itu (Nilai moral itu ada selama manusia bertindak atas dasar rasa kewajiban). Etika deontologis diasosiasikan dengan kewajiban moral dan keharusan.
Dalam etika peraturan, kewajiban bersifat imperatif, tetapi apakah aspek imperatif tersebut berdasarkan kebaikan/kebenaran dari tindakan itu sendiri atau berdasarkan akibatnya yang baik—Imperatif Kategoris dan Imperatif Hipotesis sebagai dua perintah moral yang berbeda
Imperatif Kategoris merupakan perintah tak bersyarat yang mewajibkan begitu saja suatu tindakan moral. Dengan kata lain, ia merupakan perintah untuk menjalankan suatu perbuatan atas dasar tuntutan kewajiban itu sendiri, sedangkan imperatif hipotesis selalu mengikut-sertakan struktur “Jika.. maka..” Dengan demikian imperatif hipotesis merupakan perintah untuk menjalankan suatu perbuatan atas dasar kewajiban yang dikaitkan dengan pamrih.
Menurut Kant, ukuran baik-buruk itu adalah perilaku terlepas dari akibatnya yang mungkin baik. Kant menganggap imperatif hipotesis lemah secara moral karena yang baik direduksi pada akibatnya saja; dengan demikian, manusia bertindak semata-mata berdasarkan akibat dari perbuatan itu. Otonomi manusia hanya dimungkinkan apabila manusia bertindak sesuai dengan imperatif kategoris yang mewajibkan suatu tindakan itu tanpa syarat apapun. Imperatif kategoris menjiwai semua perbuatan moral seperti janji harus ditepati, barang pinjaman harus dikembalikan, dsb.
Nilai moral hanya ada selama manusia bertindak atas dasar kewajiban = Imperatif Kategoris.
Moralitas memerlukan keadilan yang hanya dapat ditetapkan oleh Tuhan.
Beberapa kutipan etika deontologis:
(i) Kant (Formalisme)—“Benar adalah kehendak rasional dari tugas seseorang untuk sebuah kewajiban”
(ii) Epictetus (Stoisisme)—“Benar adalah kepasrahan terhadap kewajiban dan tidak perduli terhadap akibatnya”
(iii) St. Paul (Etika Kristen)—“Benar adalah ketaatan kepada kehendak Tuhan”
(iv) Royce (Idealisme)—“Benar adalah loyalitas untuk kepentingan loyalitas itu sendiri”
(v) Butler (Intusionisme)—“Setiap orang dapat menemukan hukum benar dalam dirinya dan rasa kewajiban untuk melakukannya”.
Deontologis Tindakan dan Deontologis Aturan
Deontologis itu sendiri dapat dibedakan lagi menjadi Deontologis Tindakan dan Deontologis Aturan. Deontologis tindakan adalah apabila seseorang melakukan sesuatu karena merasa bahwa dalam situasi atau keadaan tersebut, hal itu telah menjadi kewajibannya Sementara itu, deontologis aturan meletakkan ukuran/standar tindakan benar atau salah dari aturan. Dengan demikian deontologist aturan adalah apabila seseorang melakukan sesuatu karena hal itu sesuai dengan standar dalam aturan. Karena itu deontologi aturan lebih mudah untuk berubah daripada deontologi tindakan (karena aturan itu lebih mudah untuk berubah daripada nilai-nilai moral yang merupakan dasar pengambilan tindakan dalam deontologi tindakan).
Deontologis Teleologi
Teleologis, dalam bahasa Yunani artinya tujuan. Berbeda dengan etika deontologi, etika teleology mengukur baik-buruknya suatu tindakan berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Aliran utilitarianisme sering diasosiasikan dengan deontologi teleologis karena aliran ini melihat baik-buruknya suatu perbuatan dari akibat dari tindakan itu; apabila perbuatan itu membawa manfaat atau kebahagiaan bagi orang banyak.
Etika teleologis menggunakan imperatif hipotesis (Bentham)—perintah untuk menjalankan suatu perbuatan atas dasar kewajiban yang dikaitkan dengan pamrih/ akibat dari perbuatan itu.
Etika teleologi lebih bersifat situasional karena tujuan dan akibat suatu tindakan bisa sangat tergantung pada situasi khusus atau tertentu.
Etika Situasi
Karena setiap situasi itu unik, maka betul-salahnya suatu tindakan itu hanya dapat diputuskan oleh yang bersangkutan. Dengan kata lain, etika situasi tidak memberikan ukuran yang pasti terhadap baik-buruknya suatu tindakan; semuanya bergantung pada situasi. Tidak ada otoritas masyarakat yang dapat mewajibkan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan secara mutlak. Etika situasi menuju ke etika fenomenologis—melihat sesuatu secara komprehensif, dan tidak hanya dari satu sudut pandang saja, atau dari satu ideologi tertentu—dan berfungsi sebagai meta-etika.
Jurnal Perkuliahan VII
POSITIVISME
Pada jaman modern, empirisme dan rasionalisme bersinergi sehingga lahirlah Positivisme.
Auguste Compte menyebutkan 3 tahap peradaban:
(i). Tahap Teologis (Fiktif)—t erdapatnya kepercayaan pada supernatural
(ii). Tahap Metafisis (Abstrak)—antara percaya dan tidak
(iii) Tahap Positivis (Riil)—yang tidak ilmiah dianggap tidak riil.
5 Asumsi dasar Positivisme:
1). Logiko Empirisme—yang benar adalah yang dapat dibuktikan secara empiris. Teori yang dipakai adalah teori korespondensi—suatu pernyataan dianggap benar sepanjang pernyataan tersebut sesuai dengan kenyataan;
2). Realitas Objektif—Hanya ada satu saja realitas yang objektif itu; tidak ada ruang bagi interpretasi subjektif. Subjek-objek terpisah—benda/objek itu lah yang merupakan realitas atau kenyataan, bukan subjeknya (subjek tidak boleh menyatu dengan objeknya, namun harus memisahkan diri atau menjaga jarak dari objek itu agar tidak diberikan penilaian secara subjektif—namun dapat melihat segala sesuatu apa adanya.
Perlu diperhatikan bahwa tidak semua objek bisa dikaji secara empiris (atau secara realitas-objektif)—yang bisa adalah yang reduktif.
3). Reduksionisme—dapat dipilah-pilah menjadi satuan yang kecil-kecil untuk diamati.
Positivisme diharapkan dapat menyatukan ilmu-ilmu yang objeknya beragam (seperti psikologi, hukum) yang masing-masing menawarkan metode yang beragam sehingga kebenaran itu beragam pula. Dengan kata lain, positivisme bertujuan untuk mencapai “unified science”. Pendekatannya adalah dengan menggunakan hukum-hukum fisika.
4). Determinisme—menunjukkan adanya keteraturan dalam hukum-hukum fisika tersebut sehingga dunia dapat dikendalikan. [Newton meyakini bahwa alam semesta bekerja dalam satu keteraturan seperti sebuah mesin waktu (Clockwork Universe)]. Contohnya: bau yang datang dari bakteri yang menyebabkan pembusukkan (kausalitas). Dari itu, kita dapat mencegah bau tersebut, misalnya dengan menggunakan antiseptik.
5). Asumsi Bebas Nilai—terkait dengan realitas objektif; sebagai konsekuensi dari realitas objektif maka asumsi bebas nilai harus digunakan. Dengan kata lain, kita tidak boleh memberikan interpretasi-interpretasi atau penilaian baik-buruk terhadap ilmu pengetahuan. Misalnya teknologi cloning—bila melihat teknologi tersebut, kita tidak boleh memikirkan baik-buruknya, namun melihatnya dari segi ilmu pengetahuan baru yang akan kita dapatkan. Dengan kaca mata positivisme diharapkan ilmu pengetahuan itu semakin berkembang.
Sejarah Positivisme—Positivisme pertama kali muncul di Wina, Austria, melalui pemikiran-pemikiran sekelompok ahli dari berbagai bidang yang menyebut dirinya Wiener Kries (Lingkaran Wina—1922).
4). INTUISIONISME
(i). Rasionalisme
Aliran rasionalisme menyatakan bahwa subjek yang berpikir itu yang menentukan. Yang diutamakan oleh aliran ini adalah rasio. Cara berpikir rasionalisme adalah cara berpikir yang bersifat apriori (sesuatu itu bisa disimpulkan sebelum peristiwanya terjadi). Metode pemikirannya adalah dengan menggunakan metode/ logika deduksi (dari umum ke khusus à yaitu menggunakan fakta-fakta/pernyataan yang bersifat umum untuk meneliti dan memecahkan hal yang khusus.
(ii) Empirisme
Aliran empirisme menyatakan bahwa objek lah yang menentukan. Yang diutamakan adalah indra. Logikanya adalah induksi (menggunakan fakta-fakta yang bersifat khusus untuk mencapai pernyataan yang bersifat umum (generalisasi). Cara berpikirnya: aposteriori (sesuatu itu hanya dapat disimpulkan setelah peristiwanya terjadi)—dan teorinya: korespondensi (pernyataan yang sesuai dengan kenyataan adalah yang benar).
(iii) Institusionisme
Dalam aliran institusionalisme, objek dan subjek bersatu dan tidak berjarak. Tidak ada proses, baik proses induksi maupun deduksi. Kesimpulan itu muncul dengan tiba-tiba atau dengan begitu saja.
Filsuf-filsuf yang menganut Intuisionisme:
1. Henry Bergson (1859-1941)—Intuisi sebagai filsafat hidup. Intuisi di sini merupakan naluri yang tidak terpengaruh, atau sadar-diri, yang mampu merenungkan obyeknya dan memperluasnya secara tidak terbatas;
2. Edmund Husserl (1859-1938, kelahiran Ceko)—Menganut Intuisi Fenomenologis. Husserl merupakan pelopor dari aliran intuisi fenomenologis ini. Fenomena (gejala) hanya mungkin ditangkap dengan intuisi (tanpa melalui tahap-tahap penyimpulan inferensial).
Kalimat terkenal Huserl: “Zu den Sachen selhst” (kembali ke benda-benda itu sendiri). Objek-objek harus diberi kesempatan untuk berbicara.
Fenomenologi
Fenomenologi
Fenomenologi adalah cara berpikir yang relatif baru; keberadaannya dimulai pada abad ke-20 ini. Aliran fenomenologi melihat sesuatu sebagai gejala (ilmu pun dianggap sebagai gejala, atau bentuk tertentu kesadaran manusia). Fenomenon berarti sesuatu yang tampak—dari kata phainomai yang dalam bahasa Yunani berarti memperlihatkan diri.
Menurut Husserl, subjek-objek selalu menyatu dan tidak berjarak. Segala sesuatu terkait dengan kesadaran (intensionalitas). Saya melihat batu—saya sadar bahwa saya bukan batu. Jadi segala sesuatu dilihat berdasarkan relativitas atau hubungannya dengan obyek yang lain (Relativisme). Untuk melihat saya, saya butuh orang lain. (I’m not the center—manusia bukan pusat segalanya). Eksistensi ditentukan oleh ko-eksistensi.
Pengetahuan merupakan konstruksi logika atas data inderawi (baik yang faktual maupun yang bersifat mungkin). To really know something is to experience. Dunia nyata bukan abstraksi tetapi harus dialami (lived world, lebenswelth). Untuk dapat dikembangkan lived world atau lebenswelth ini dikembangkan teori tafsir-menafsir (hermeneutika).
Ilmu-ilmu modern terlalu menyederhanakan kenyataan, sekedar mereduksinya ke dalam simbol (misalnya, air menjadi H2O), padahal air merupakan simbol kesucian juga.
Aliran Intuisi Fenomenologis ini kemudian dikembangkan oleh:
(i) Max Scheler (1874-1928);
(ii) Martin Heidegger (1889-1976);
(iii) Sartre (1905-1980);
(iv) Marleau-Ponty (1908-1961)
Fenomenologi mencari Wesenschau, yang artinya adalah cara melihat secara intuitif hakikat dari gejala-gejala. Fenomenologi melihat sesuatu secara komprehensif, dan tidak hanya dari satu sudut pandang saja, atau dari satu ideologi tertentu. Untuk itu, fenomenologi menerapkan 3 reduksi, yang konon diperlukan agar intuisi dapat menangkap hakikat dari gejala-gejala atau objek-objek—yaitu:
(i) Reduksi Fenomenologis—Singkirkan segala sesuatu yang subjektif. Apa yang merupakan hakikat (nilai atau konsep) ditentukan oleh objek itu sendiri. Dengan demikian, biarkan objek itu yang berbicara melalui relasinya dengan objek lain;
(ii) Reduksi Eiditis—(eidetic reduction, which is the abstraction of essences)—Singkirkan pengetahuan yang terlanjur ada tentang objek itu, termasuk hipotesis. Dengan cara ini, kita dapat mencapai yang inti.
(iii) Reduksi Transenden (transcendental idealism)—Singkirkan tradisi pengetahuan.
Indikasi bahwa institusi itu bekerja adalah sebagai berikut:
1. Frekuensi terjadinya peristiwa itu sangat jarang/ langka;
2. Datangnya tidak dapat diprediksi/ dirancang;
3. Subjek yang berintuisi harus mengenal secara mendalam;
4. Subjek menangkap sinyal-sinyal yang tidak lazim/ unik;
5. Sinyal yang tidak lazim tersebut diproses dalam alam bawah sadar [menurut penganut institusionisme, penarikan kesimpulan berdasarkan proses alam bawah sadar ini adalah penarikan kesimpulan yang paling tinggi, di atas deduksi dan induksi];
6. Muncul perasaan tidak tenang/ aneh sehingga menimbulkan keyakinan bahwa suatu yang tidak biasa akan terjadi.
Langganan:
Postingan (Atom)